Tuesday, September 23, 2008

deception poin serial 1-2


DECEPTION

POINT

DAN BROWN

(TITIK MUSLIHAT)

eBook by MR.

Copyright arranged with: Sanford J. Greenburger Associates

55 Fifth Avenue, New York, NY 1 0003, USA.

trough Tuttle-Mori Agency Co., Ltd.

Diterjemahkan dari Deception Point karangan Dan Brown,

terbitan Pocket Books, New York, Cet. ke-2

Hak terjemahan Indonesia pada Serambi

Dilarang mereproduksi atau memperbanyak seluruh maupun

sebagian dari buku ini dalam bentuk atau cara apa pun

tanpa izin tertulis dari penerbit

Penerjemah: Isma B. Koesalamwardi dan Hendry M. Tanaja

Penyerasi: Vitri Mayastuti

Pewajah Isi: Fadly's

PT SERAMBI ILMU SEMESTA

Anggota IKAPI

Jin. Kemang Timur Raya No. 16, Jakarta 12730

www.serambi.co.id; info@serambi.co.id

Edisi Hard Cover

Cetakan I: Oktober 2006

ISBN: 979-1112-49-5

Buku ini adalah karya fiksi. Semua nama, karakter, tempat,

dan peristiwa adalah hasil imajinasi penulis dan bersifat khayalan.

Setiap kesamaan dengan peristiwa, tempat, atau tokoh nyata, yang masih

hidup maupun yang sudah mati, adalah kebetulan belaka.

Dicetak oleh Percetakan PT. Ikror Mandiriabadi, Jakarta

Isi diluar tanggung jawab percetakan

CATATAN PENGARANG

Delta Force, National Reconnaissance Office, dan Space

Frontier Foundation adalah organisasi nyata. Semua teknologi

yang digambarkan dalam novel ini benar-benar ada.

"Jika dapat dipastikan kebenarannya, penemuan ini pasti

akan menjadi wawasan yang paling mencengangkan tentang

alam semesta kita dan akan menguak misteri yang

belum dipahami oleh ilmu pengetahuan sebelumnya. Implikasinya

begitu jauh dan mengagumkan. Walaupun menjanjikan

jawaban bagi beberapa pertanyaan paling klasik

yang dimiliki umat manusia, penemuan ini juga masih

menyisakan beberapa pertanyaan lain yang lebih fundamental."

—Presiden Bill Clinton, dalam konferensi pers

setelah penemuan yang dikenal sebagai ALH84001

pada 7 Agustus 1996

PROLOG

KEMATIAN, DI tempat yang terpencil seperti ini, dapat

terjadi dalam berbagai cara yang tak terhitung jumlahnya.

Sebagai seorang geologis, Charles Brophy mampu hidup

di daerah liar yang menawan ini selama bertahun-tahun,

namun tidak ada yang mampu mempersiapkan dirinya

untuk menghadapi takdir yang kejam dan aneh seperti

yang sebentar lagi akan menimpanya.

Ketika keempat anjing husky-nya menarik kereta luncur

salju yang berisi peralatan peraba geologis menyeberangi

tundra, tiba-tiba saja anjing-anjing tersebut memperlambat

lari mereka dan menatap langit.

"Ada apa, Anak-anak?" tanya Brophy sambil turun

dari kereta luncurnya.

Di antara kumpulan awan badai, sebuah helikopter

bermesin ganda muncul dan menurunkan ketinggiannya.

Pesawat itu kemudian menyusuri puncak gunung bersalju

di sekitarnya dengan ketangkasan layaknya pesawat militer.

Ini aneh, pikir Brophy. Dia tidak pernah melihat

helikopter di kawasan utara yang terpencil ini. Helikopter

tersebut mendarat lima puluh yard darinya, menerbangkan

butiran salju yang tajam di sekitar situ. Anjing-anjing

Brophy mendengking-dengking dan tampak waspada.

Ketika pintu helikopter bergeser terbuka, dua orang lelaki

turun. Mereka mengenakan pakaian berwarna putih yang sangat

tebal, masing-masing bersenjatakan sepucuk senapan, dan bergerak

ke arah Brophy dengan cepat.

"Dr. Brophy?" seru seorang di antaranya.

Ahli geologi itu tercengang. "Bagaimana kautahu namaku?

Siapa kalian?"

"Maaf? Aku tidak mengerti."

"Lakukan sajalah."

Dengan kebingungan, Brophy mengeluarkan radionya dari

dalam mantel bulunya.

"Kami ingin kau mengirimkan pesan darurat. Turunkan frekuensi

radiomu menjadi seratus kilohertz."

Seratus kilohertz? Saat itu Brophy betul-betul merasa bingung.

Tidak ada yang dapat menerima gelombang serendah itu. "Memangnya

telah terjadi kecelakaan?"

Lelaki kedua mengangkat senapannya dan mengarahkannya

ke kepala Brophy. "Tidak ada waktu untuk menjelaskan. Kerjakan

saja!"

Dengan gemetar, Brophy mengatur frekuensi transmisi radionya.

Lelaki pertama menyerahkan sebuah kartu catatan dengan beberapa

baris kalimat terketik di atasnya. "Kirimkan pesan ini. Sekarang."

Brophy melihat kartu itu. "Aku tidak mengerti. Informasi

ini tidak benar. Aku tidak—"

Lelaki itu menekankan senapannya dengan keras di pelipis

ahli geologi tersebut.

Suara Brophy terdengar gemetar ketika mengirimkan pesan

aneh itu.

"Bagus," kata lelaki pertama. "Sekarang masuk ke helikopter.

Bawa anjing-anjingmu juga."

Di bawah todongan senapan, Brophy mengatur anjinganjingnya

yang enggan bergerak itu dan juga kereta luncurnya,

"Silakan keluarkan radiomu."

menaiki jalur landai menuju bagian kargo helikopter. Begitu

mereka sudah masuk, helikopter tersebut langsung mengudara

dan membelok ke arah barat.

"Siapa kalian?" tanya Brophy. Berada di bawah todongan

senjata untuk melakukan sesuatu yang tidak dimengerti dan

dipaksa menaiki helikopter asing menuju entah ke mana membuat

keringatnya mulai muncul di balik mantel bulunya. Dan

apa arti pesan tadi!

Orang-orang itu tidak berkata apa-apa.

Ketika helikopter terbang semakin tinggi, angin mulai memukul-

mukul melalui pintu yang terbuka. Anjing-anjing husky

Brophy, yang masih terpasang pada kereta luncurnya, mulai

mendengking-dengking lagi.

"Paling tidak, tutuplah pintu itu," pinta Brophy. "Kau tidak

lihat kalau anjing-anjingku ketakutan?"

Orang-orang itu tidak menjawab.

Ketika helikopter itu naik hingga ketinggian empat ribu

kaki, pesawat tersebut membelok tajam melewati serangkaian

jurang es dan celah-celah curam. Tiba-tiba, kedua lelaki asing

itu berdiri. Tanpa banyak bicara, mereka mencengkeram kereta

luncur yang bermuatan berat itu dan mendorongnya keluar

pintu helikopter yang terbuka. Brophy menyaksikan dengan

ketakutan ketika anjing-anjingnya yang berusaha melawan dengan

sia-sia itu tertarik kereta luncur yang berat. Dalam sekejap

hewan-hewan itu menghilang, terseret sambil melolong-lolong,

melayang keluar dari helikopter.

Brophy langsung berdiri sambil berteriak ketika kemudian

kedua lelaki itu juga mencengkeramnya. Mereka menggiringnya

ke dekat pintu. Dengan rasa takut yang amat sangat, Brophy

mengibaskan lengannya dan berusaha menepis tangan-tangan

kuat yang mendorongnya ke luar tanpa ampun.

Tapi tidak ada gunanya. Beberapa saat kemudian, Brophy

sudah jatuh ke arah jurang di bawahnya.[]

RESTORAN TOULOS, yang berdekatan dengan Capitol Hill,

menjagokan menu yang secara politis tidak benar: daging anak

lembu yang lunak dan carpaccio kuda. Walau demikian, restoran

tersebut adalah tempat makan pagi yang strategis meski ironis

bagi para politisi tertentu yang saat ini sedang berkuasa di

Washington.

Pagi ini restoran Toulos ramai—bunyi riuh dentingan sendokgarpu

dan pisau dari perak, mesin pembuat espresso, dan percakapan

melalui ponsel.

Sang maitre d' sedang menyesap Bloody Mary paginya secara

diam-diam ketika seorang perempuan memasuki restoran. Sang

maitre d' kemudian memandang perempuan itu sambil melayangkan

senyuman terlatihnya.

"Selamat pagi. Bisa saya bantu?"

Penampilan perempuan itu menarik. Dia berusia pertengahan

tiga puluh tahun, mengenakan celana panjang flanel berlipit

berwarna kelabu, blus berwarna gading rancangan Laura Ashley,

dan sepatu gaya klasik dengan hak datar. Pembawaannya tegak

dengan dagu terangkat sedikit sehingga tidak mengesankan kesombongan,

hanya keteguhan pendirian. Rambutnya berwarna

cokelat muda dan ditata dalam gaya yang paling populer di

Washington: gaya seorang "wanita penyiar" dengan gelombang

lembut dan indah di bagian bawah dan menyentuh bahunya ...

cukup panjang untuk dikatakan seksi, namun cukup pendek

untuk mengingatkan bahwa mungkin saja dia lebih pandai

dibandingkan Anda.

"Aku agak terlambat," perempuan itu berkata dengan nada

datar. "Aku ada janji makan pagi bersama Senator Sexton."

Tiba-tiba sang maitre d' merasa tergelitik. Senator Sedgewick

Sexton. Senator itu adalah pelanggan restoran ini dan sekarang

dia merupakan salah satu lelaki yang paling terkenal di negeri

ini. Minggu lalu, setelah mengalahkan secara telak kedua belas

calon presiden dari partai Republik pada Super Tuesday,* sang

senator jelas dicalonkan partainya sebagai kandidat Presiden

Amerika Serikat. Banyak orang percaya bahwa sang senator

memiliki kesempatan besar untuk merebut Gedung Putih dari

presiden saat ini dalam pemilu di musim gugur yang akan

datang. Akhir-akhir ini wajah Sexton muncul di setiap majalah

nasional, dan slogan-slogan kampanyenya tertempel di seluruh

Amerika: "Hentikan penghamburan uang. Mulailah perbaikan."

"Senator Sexton sudah ada di tempat duduknya," ujar sang

maitre d'. "Dan nama Anda?"

"Rachel Sexton. Putrinya."

Bodohnya aku, pikir lelaki itu. Kemiripan mereka jelas terlihat.

Perempuan itu memiliki mata setajam mata sang senator

dan pembawaan yang halus—aura ketabahan yang terlatih dari

seorang bangsawan. Jelas, wajah tampan sang senator merupakan

warisan turun-temurun, walau Rachel Sexton tampaknya menyandang

keunggulan tersebut dengan keanggunan dan kerendahan

hati yang seharusnya dicontoh ayahnya.

"Kami senang Anda berkunjung ke sini, Ms. Sexton."

Ketika sang maitre d' membimbing putri sang senator itu

melintasi ruang makan, dia merasa malu dengan lirikan para

lelaki di ruangan tersebut yang mengikuti tamunya ... beberapa

di antaranya mengerling diam-diam, namun yang lainnya tampak

lebih terang-terangan. Hanya segelintir perempuan yang makan

di Toulos dan lebih sedikit lagi yang terlihat seperti Rachel

Sexton, sehingga kunjungannya kali ini menarik minat laki-laki

yang makan di sana.

*Hari Selasa di awal bulan Maret dalam tahun pemilihan presiden, di

mana hampir seluruh negara bagian di AS mengadakan pemilihan awal

calon presiden secara serentak—penerjemah.

"Tubuh yang indah," bisik salah seorang tamu. "Sexton

sudah punya istri baru?"

"Itu putrinya, bodoh," jawab yang lainnya.

Lelaki itu terkekeh. "Seperti tidak kenal Sexton saja. Dia

mungkin akan menidurinya juga."

KETIKA RACHEL tiba di depan meja ayahnya, sang senator

sedang menggunakan ponselnya dan berbicara dengan lantang

tentang keberhasilannya baru-baru ini. Dia menatap Rachel

sekilas dan kemudian mengetuk jam tangan Cartier-nya untuk

mengingatkan putrinya bahwa dia terlambat.

Aku juga rindu padamu, Ayah, kata Rachel, sinis.

Sesungguhnya nama depan ayahnya adalah Thomas, tetapi

dia kemudian menggunakan nama tengahnya sejak lama. Rachel

menduga itu karena ayahnya menyukai nama depan dan nama

belakang dengan huruf awal yang sama seperti orang-orang

terkenal itu. Senator Sedgewick Sexton, begitulah namanya sekarang.

Lelaki itu berambut perak, seorang politisi yang juga

ber-"lidah perak" alias pintar bicara, dan diberkahi dengan wajah

cerdik layaknya pemeran dokter dalam opera sabun. Peran tersebut

sepertinya cocok mengingat bakatnya yang pandai menirukan

karakter orang lain.

"Rachel!" Ayahnya kemudian mematikan ponselnya dan

berdiri untuk mencium pipi putrinya.

"Hai, Ayah." Rachel tidak membalas ciuman ayahnya.

"Kau tampak letih."

Yah, mulai lagi deh, katanya dalam hati. "Aku menerima

pesanmu. Ada apa?"

"Memangnya aku tidak boleh mengajak putriku keluar untuk

makan pagi?"

Rachel sudah tahu sejak lama, ayahnya jarang sekali minta

ditemani olehnya kecuali jika ada maksud tersembunyi.

Sexton menyesap kopinya. "Jadi, apa kabarmu?"

"Sibuk. Kulihat, kampanye Ayah berjalan baik sekali."

"Oh, jangan bicara soal pekerjaan." Sexton mencondongkan

tubuhnya ke depan, dan merendahkan suaranya. "Bagaimana

dengan lelaki dari Departemen Luar Negeri yang kukenalkan

padamu itu?"

Rachel menarik napas dengan kesal. Sejak tadi dia sudah

berusaha keras agar tidak melirik jam tangannya. "Ayah, aku

betul-betul tidak punya waktu untuk meneleponnya. Dan kuharap

Ayah akan berhenti berusaha untuk—"

"Kau harus menyempatkan diri untuk melakukan hal-hal

penting, Rachel. Tanpa cinta, semuanya akan tidak berarti."

Sejumlah kenangan terlintas dalam benak Rachel, tetapi dia

memilih diam. Sepertinya, berakting seperti orang besar tidak

sulit bagi ayahnya. "Ayah, kau bilang ingin bertemu denganku.

Ayah bilang ada hal penting."

"Benar." Sexton menatap Rachel dengan lebih saksama.

Rachel merasa sebagian pertahanan dirinya meleleh di bawah

tatapan tajam ayahnya, sehingga dia mengutuki kekuatan lelaki

itu dalam hati. Tatapan tajam adalah bakat sang senator, bakat

yang menurut Rachel mungkin akan membawa ayahnya ke

Gedung Putih. Pertama-tama ayahnya dapat membuat matanya

dibanjiri air mata, sesaat kemudian mata tersebut akan menjadi

jernih, seolah-olah pemiliknya membuka jendela jiwa yang penuh

ketulusan, sehingga membangkitkan kepercayaan pada semua

orang. Semua ini adalah tentang kepercayaan, begitu ayahnya

selalu mengatakan. Walau sang senator telah kehilangan kepercayaan

putrinya bertahun-tahun yang lalu, dengan cepat dia

dapat memperoleh kepercayaan negerinya.

"Aku punya sebuah tawaran untukmu," kata Senator Sexton.

"Biar aku tebak," sahut Rachel sambil berusaha membangun

kembali ketenangannya. "Seorang duda-cerai sedang mencari istri

yang masih muda?"

"Jangan bercanda, Sayang. Kau sendiri sudah tidak semuda

itu..

Rachel merasa hatinya menjadi ciut seperti yang sering

dirasakannya setiap kali bertemu dengan ayahnya.

"Aku ingin memberimu sekoci penyelamat," kata sang senator.

"Aku tidak merasa sedang tenggelam."

"Kau memang tidak sedang tenggelam. Presiden yang sedang

tenggelam. Kau harus terjun meninggalkan kapal itu sebelum

terlambat."

"Kita sudah pernah membicarakan ini, bukan?"

"Pikirkan masa depanmu, Rachel. Kau bisa bekerja untukku."

"Kuharap itu bukan alasan Ayah mengajakku makan pagi."

Kesan tenang di wajah sang senator berubah walau sedikit

sekali. "Rachel, memangnya kamu tidak tahu bahwa dengan

bekerja pada Presiden, kau memberikan citra buruk kepadaku?

Dan kepada kampanyeku?"

Rachel mendesah. Dia dan ayahnya sudah pernah membicarakan

hal ini. "Ayah, aku tidak bekerja pada Presiden. Aku bahkan

belum pernah berjumpa dengannya. Aku bekerja di Fairfax."

"Dalam politik, kesan sangat penting, Rachel. Kau terkesan

bekerja untuk Presiden."

Rachel menghela napas dan berusaha untuk tetap tenang.

"Aku sudah berjuang terlalu keras untuk mendapatkan pekerjaan

ini, Ayah. Aku tidak akan berhenti."

Mata sang senator menyipit. "Kautahu, kadang-kadang sifat

keras kepalamu itu betul-betul—"

"Senator Sexton?" Seorang wartawan muncul di samping

meja mereka.

Dengan cepat sikap sang senator melunak. Rachel mengerang

dalam hati dan mengambil sepotong croissant dari sebuah

keranjang kecil di atas meja.

"Ralph Sneeden," kata wartawan itu. "Washington Post. Boleh

saya mengajukan beberapa pertanyaan?"

Sang senator tersenyum, lalu mengusap mulutnya dengan

selembar serbet. "Dengan senang hati, Ralph. Singkat saja, ya.

Saya tidak mau kopi saya dingin."

Si wartawan hanya tertawa. "Tentu saja, Pak." Lalu dia

mengeluarkan sebuah alat perekam kecil dan menyalakannya.

"Senator, iklan kampanye Anda di televisi menuntut pengesahan

hukum untuk memastikan persamaan upah kerja bagi perempuan

... demikian juga pemotongan pajak bagi keluarga-keluarga muda.

Dapatkah Anda memberikan pernyataan tentang alasan tuntutan

Anda itu?"

"Tentu. Saya hanya seorang pengagum fanatik perempuan

yang ulet dan keluarga yang kuat."

Rachel benar-benar tersedak dengan croissant-aya.

"Lalu mengenai topik keluarga," lanjut wartawan itu, "Anda

berbicara banyak tentang pendidikan. Anda mengusulkan pemotongan

anggaran yang tinggi dan kontroversial untuk dialokasikan

sebagai tambahan bagi sekolah-sekolah negeri."

"Saya percaya bahwa anak-anak merupakan masa depan kita."

Rachel tidak dapat percaya ayahnya begitu noraknya sehingga

harus mengutip syair lagu-lagu pop.

"Yang terakhir, Pak," kata si wartawan. "Menurut jajak pendapat,

perolehan angka Anda melonjak tinggi selama beberapa

minggu terakhir ini. Presiden pasti merasa khawatir. Anda memiliki

pendapat tentang keberhasilan Anda baru-baru ini?"

"Saya kira itu ada hubungannya dengan kepercayaan. Rakyat

Amerika mulai melihat bahwa Presiden tidak dapat dipercaya

untuk membuat keputusan yang kuat bagi bangsa ini. Pengeluaran

negara yang tidak terkendali membuat hutang menjadi

semakin bertumpuk setiap hari, dan rakyat Amerika mulai sadar

bahwa sudah saatnya mereka berhenti mengeluarkan uang dan

memperbaiki keadaan."

Seperti mengakhiri retorika ayahnya, penyeranta di dalam

tas Rachel berbunyi. Biasanya, suara alat elektronik itu mengganggunya,

namun kali ini suaranya terdengar sangat merdu.

Sang senator melotot marah ke arah Rachel karena merasa

terganggu.

Rachel merogoh-rogoh tasnya untuk mencari penyerantanya,

lalu menekan kode yang terdiri atas lima digit untuk memastikan

bahwa dialah yang memegang penyeranta itu. Bunyi penyeranta

itu berhenti, dan lampu LCD-nya mulai berkedip. Dalam lima

belas detik, dia akan menerima sebuah pesan dari jalur aman.

Sneeden tersenyum pada sang senator. "Putri Anda pasti

orang yang sangat sibuk. Senang melihat Anda berdua masih

menyisipkan acara makan bersama dalam jadwal Anda yang

padat."

"Seperti yang saya katakan tadi, keluarga selalu nomor satu."

Sneeden mengangguk, dan kemudian tatapannya mengeras.

"Boleh saya bertanya, Pak. Bagaimana Anda dan putri Anda

mengatasi konflik kepentingan di antara Anda berdua?"

"Konflik?" Senator Sexton menegakkan kepalanya dengan

wajah polos untuk menunjukkan ekspresi kebingungan. "Maksudmu

konflik apa?"

Rachel melirik ayahnya dan merasa jijik dengan sikap munafik

seperti itu. Dia tahu dengan pasti, ke mana arah semua ini.

Wartawan sialan, pikir Rachel. Setengah dari mereka merupakan

orang-orang bayaran untuk kepentingan politik tertentu. Pertanyaan-

pertanyaan wartawan itu disebut para jurnalis sebagai

pertanyaan buah anggur—sebuah pertanyaan yang terlihat sulit

tetapi sebenarnya hanya merupakan skenario demi keuntungan

sang senator sendiri—sebuah pukulan lob lambat yang dapat

dikembalikan ayahnya dengan smash ke bidang lawan untuk

menjernihkan beberapa hal tertentu.

"Begini, Pak ...." Si wartawan terbatuk, berpura-pura merasa

tidak enak karena pertanyaannya tadi. "Pertentangan karena putri

Anda bekerja pada lawan politik Anda."

Tawa Senator Sexton meledak, dan dengan cepat mengaburkan

pertanyaan itu. "Ralph, pertama-tama, Presiden dan saya

bukan lawan politik. Kami hanyalah dua orang patriot yang

memiliki dua gagasan berbeda tentang bagaimana membangun

negara yang kami cintai ini."

Si wartawan berseri-seri wajahnya. "Lalu yang kedua?"

"Kedua, putri saya tidak bekerja untuk Presiden. Rachel

hanya bekerja pada komunitas inteiijen. Dia mengunipulkan

laporan-laporan inteiijen dan mengirimkannya ke Gedung Putih.

Itu bukan jabatan yang terlalu penting." Sang senator berhenti

sejenak dan menatap Rachel. "Aku juga tidak yakin kau sudah

pernah bertemu dengan Presiden, ya kan, Sayangku?"

Rachel menatap ayahnya dengan mata melotot.

Penyeranta itu berbunyi lagi, sehingga tatapan Rachel berpindah

pada pesan yang muncul di layar LCD.

—RPT DIRNRO STAT—

Rachel mengartikan pesan itu dengan cepat, lalu mengerutkan

keningnya. Pesan itu tidak terduga, dan jelas merupakan

kabar buruk. Tapi paling tidak dia memiliki alasan untuk pergi

sekarang.

"Bapak-bapak," katanya, "saya sangat menyesal, tetapi saya

harus pergi. Saya terlambat bekerja."

"Ms. Sexton," ujar wartawan itu dengan cepat, "sebelum

pergi, dapatkah Anda memberikan komentar tentang kabar angin

bahwa Anda diundang makan pagi ini untuk membicarakan

kemungkinan Anda meninggalkan kedudukan Anda sekarang

demi kampanye ayah Anda?"

Rachel merasa seolah-olah seseorang telah menyiramkan kopi

panas ke wajahnya. Dia betul-betul tidak siap menerima pertanyaan

itu. Rachel menatap ayahnya dan merasakan, dari seringai

sang ayah, bahwa pertanyaan wartawan itu telah diatur.

Dia sangat ingin naik ke atas meja dan menusuk ayahnya dengan

garpu.

Si wartawan menyodorkan perekamnya ke arah wajah Rachel.

"Miss Sexton?"

Rachel menatap mata wartawan itu dengan tajam. "Ralph,

atau siapa pun namamu, dengar ini baik-baik: Aku tidak punya

niat meninggalkan pekerjaanku untuk bekerja pada Senator

Sexton, dan jika kau memutar balik pernyataanku, kau akan

memerlukan pencungkil sepatu untuk mengeluarkan perekam

ini dari anusmu."

Mata wartawan itu terbelalak. Dia lalu mematikan perekamnya

sambil diam-diam tersenyum. "Terima kasih, Anda berdua."

Kemudian dia menghilang.

Rachel segera menyesali luapan kegusarannya tadi. Dia rupanya

telah mewarisi sikap buruk ayahnya, dan mungkin karena

itulah dia membenci ayahnya. Bagus, Rachel. Sangat bagus.

Ayahnya melotot ke arahnya dengan tatapan tidak setuju.

"Kau betul-betul harus belajar bersikap lebih baik."

Rachel mulai mengumpulkan barang-barangnya. "Pertemuan

ini sudah selesai."

Tampaknya urusan sang senator dengan putrinya itu juga

sudah selesai. Dia lalu mengeluarkan ponselnya untuk menelepon

seseorang. "Dah, Sayang. Mampirlah ke kantorku sering-sering.

Dan menikahlah! Ingat, kau sudah 33 tahun sekarang."

"Tiga puluh empat," sergah Rachel. "Sekretaris Ayah saja

ingat."

Senator Sexton berdecak dengan nada menyesal. "Tiga puluh

empat. Hampir jadi perawan tua. Kautahu, ketika aku berusia

34, aku sudah—"

"Menikahi Ibu dan berselingkuh dengan tetangga?" Katakata

itu terucap lebih keras dari yang dimaksudkan sehingga

merusak ketenangan di restoran itu. Para tamu yang duduk di

dekat mereka menoleh ke arah ayah dan anak ini.

Senator Sexton memandangnya dengan dingin, sehingga

Rachel merasa ada dua pedang es kristal yang menancap di

tubuhnya. "Berhati-hatilah kau, Nona."

Rachel beranjak menuju pintu. Tidak, berhati-hatilah kau,

Senator.[]


No comments: