DECEPTION
POINT
DAN BROWN
(TITIK MUSLIHAT)
eBook by MR.
Copyright arranged with: Sanford J. Greenburger Associates
55 Fifth Avenue, New York, NY 1 0003, USA.
trough Tuttle-Mori Agency Co., Ltd.
Diterjemahkan dari Deception Point karangan Dan Brown,
terbitan Pocket Books, New York, Cet. ke-2
Hak terjemahan Indonesia pada Serambi
Dilarang mereproduksi atau memperbanyak seluruh maupun
sebagian dari buku ini dalam bentuk atau cara apa pun
tanpa izin tertulis dari penerbit
Penerjemah: Isma B. Koesalamwardi dan Hendry M. Tanaja
Penyerasi: Vitri Mayastuti
Pewajah Isi: Fadly's
PT SERAMBI ILMU SEMESTA
Anggota IKAPI
Jin. Kemang Timur Raya No. 16, Jakarta 12730
www.serambi.co.id; info@serambi.co.id
Edisi Hard Cover
Cetakan I: Oktober 2006
ISBN: 979-1112-49-5
Buku ini adalah karya fiksi. Semua nama, karakter, tempat,
dan peristiwa adalah hasil imajinasi penulis dan bersifat khayalan.
Setiap kesamaan dengan peristiwa, tempat, atau tokoh nyata, yang masih
hidup maupun yang sudah mati, adalah kebetulan belaka.
Dicetak oleh Percetakan PT. Ikror Mandiriabadi, Jakarta
Isi diluar tanggung jawab percetakan
CATATAN PENGARANG
Delta Force, National Reconnaissance Office, dan Space
Frontier Foundation adalah organisasi nyata. Semua teknologi
yang digambarkan dalam novel ini benar-benar ada.
"Jika dapat dipastikan kebenarannya, penemuan ini pasti
akan menjadi wawasan yang paling mencengangkan tentang
alam semesta kita dan akan menguak misteri yang
belum dipahami oleh ilmu pengetahuan sebelumnya. Implikasinya
begitu jauh dan mengagumkan. Walaupun menjanjikan
jawaban bagi beberapa pertanyaan paling klasik
yang dimiliki umat manusia, penemuan ini juga masih
menyisakan beberapa pertanyaan lain yang lebih fundamental."
—Presiden Bill Clinton, dalam konferensi pers
setelah penemuan yang dikenal sebagai ALH84001
pada 7 Agustus 1996
PROLOG
KEMATIAN, DI tempat yang terpencil seperti ini, dapat
terjadi dalam berbagai cara yang tak terhitung jumlahnya.
Sebagai seorang geologis, Charles Brophy mampu hidup
di daerah liar yang menawan ini selama bertahun-tahun,
namun tidak ada yang mampu mempersiapkan dirinya
untuk menghadapi takdir yang kejam dan aneh seperti
yang sebentar lagi akan menimpanya.
Ketika keempat anjing husky-nya menarik kereta luncur
salju yang berisi peralatan peraba geologis menyeberangi
tundra, tiba-tiba saja anjing-anjing tersebut memperlambat
lari mereka dan menatap langit.
"Ada apa, Anak-anak?" tanya Brophy sambil turun
dari kereta luncurnya.
Di antara kumpulan awan badai, sebuah helikopter
bermesin ganda muncul dan menurunkan ketinggiannya.
Pesawat itu kemudian menyusuri puncak gunung bersalju
di sekitarnya dengan ketangkasan layaknya pesawat militer.
Ini aneh, pikir Brophy. Dia tidak pernah melihat
helikopter di kawasan utara yang terpencil ini. Helikopter
tersebut mendarat lima puluh yard darinya, menerbangkan
butiran salju yang tajam di sekitar situ. Anjing-anjing
Brophy mendengking-dengking dan tampak waspada.
Ketika pintu helikopter bergeser terbuka, dua orang lelaki
turun. Mereka mengenakan pakaian berwarna putih yang sangat
tebal, masing-masing bersenjatakan sepucuk senapan, dan bergerak
ke arah Brophy dengan cepat.
"Dr. Brophy?" seru seorang di antaranya.
Ahli geologi itu tercengang. "Bagaimana kautahu namaku?
Siapa kalian?"
"Maaf? Aku tidak mengerti."
"Lakukan sajalah."
Dengan kebingungan, Brophy mengeluarkan radionya dari
dalam mantel bulunya.
"Kami ingin kau mengirimkan pesan darurat. Turunkan frekuensi
radiomu menjadi seratus kilohertz."
Seratus kilohertz? Saat itu Brophy betul-betul merasa bingung.
Tidak ada yang dapat menerima gelombang serendah itu. "Memangnya
telah terjadi kecelakaan?"
Lelaki kedua mengangkat senapannya dan mengarahkannya
ke kepala Brophy. "Tidak ada waktu untuk menjelaskan. Kerjakan
saja!"
Dengan gemetar, Brophy mengatur frekuensi transmisi radionya.
Lelaki pertama menyerahkan sebuah kartu catatan dengan beberapa
baris kalimat terketik di atasnya. "Kirimkan pesan ini. Sekarang."
Brophy melihat kartu itu. "Aku tidak mengerti. Informasi
ini tidak benar. Aku tidak—"
Lelaki itu menekankan senapannya dengan keras di pelipis
ahli geologi tersebut.
Suara Brophy terdengar gemetar ketika mengirimkan pesan
aneh itu.
"Bagus," kata lelaki pertama. "Sekarang masuk ke helikopter.
Bawa anjing-anjingmu juga."
Di bawah todongan senapan, Brophy mengatur anjinganjingnya
yang enggan bergerak itu dan juga kereta luncurnya,
"Silakan keluarkan radiomu."
menaiki jalur landai menuju bagian kargo helikopter. Begitu
mereka sudah masuk, helikopter tersebut langsung mengudara
dan membelok ke arah barat.
"Siapa kalian?" tanya Brophy. Berada di bawah todongan
senjata untuk melakukan sesuatu yang tidak dimengerti dan
dipaksa menaiki helikopter asing menuju entah ke mana membuat
keringatnya mulai muncul di balik mantel bulunya. Dan
apa arti pesan tadi!
Orang-orang itu tidak berkata apa-apa.
Ketika helikopter terbang semakin tinggi, angin mulai memukul-
mukul melalui pintu yang terbuka. Anjing-anjing husky
Brophy, yang masih terpasang pada kereta luncurnya, mulai
mendengking-dengking lagi.
"Paling tidak, tutuplah pintu itu," pinta Brophy. "Kau tidak
lihat kalau anjing-anjingku ketakutan?"
Orang-orang itu tidak menjawab.
Ketika helikopter itu naik hingga ketinggian empat ribu
kaki, pesawat tersebut membelok tajam melewati serangkaian
jurang es dan celah-celah curam. Tiba-tiba, kedua lelaki asing
itu berdiri. Tanpa banyak bicara, mereka mencengkeram kereta
luncur yang bermuatan berat itu dan mendorongnya keluar
pintu helikopter yang terbuka. Brophy menyaksikan dengan
ketakutan ketika anjing-anjingnya yang berusaha melawan dengan
sia-sia itu tertarik kereta luncur yang berat. Dalam sekejap
hewan-hewan itu menghilang, terseret sambil melolong-lolong,
melayang keluar dari helikopter.
Brophy langsung berdiri sambil berteriak ketika kemudian
kedua lelaki itu juga mencengkeramnya. Mereka menggiringnya
ke dekat pintu. Dengan rasa takut yang amat sangat, Brophy
mengibaskan lengannya dan berusaha menepis tangan-tangan
kuat yang mendorongnya ke luar tanpa ampun.
Tapi tidak ada gunanya. Beberapa saat kemudian, Brophy
sudah jatuh ke arah jurang di bawahnya.[]
RESTORAN TOULOS, yang berdekatan dengan Capitol Hill,
menjagokan menu yang secara politis tidak benar: daging anak
lembu yang lunak dan carpaccio kuda. Walau demikian, restoran
tersebut adalah tempat makan pagi yang strategis meski ironis
bagi para politisi tertentu yang saat ini sedang berkuasa di
Washington.
Pagi ini restoran Toulos ramai—bunyi riuh dentingan sendokgarpu
dan pisau dari perak, mesin pembuat espresso, dan percakapan
melalui ponsel.
Sang maitre d' sedang menyesap Bloody Mary paginya secara
diam-diam ketika seorang perempuan memasuki restoran. Sang
maitre d' kemudian memandang perempuan itu sambil melayangkan
senyuman terlatihnya.
"Selamat pagi. Bisa saya bantu?"
Penampilan perempuan itu menarik. Dia berusia pertengahan
tiga puluh tahun, mengenakan celana panjang flanel berlipit
berwarna kelabu, blus berwarna gading rancangan Laura Ashley,
dan sepatu gaya klasik dengan hak datar. Pembawaannya tegak
dengan dagu terangkat sedikit sehingga tidak mengesankan kesombongan,
hanya keteguhan pendirian. Rambutnya berwarna
cokelat muda dan ditata dalam gaya yang paling populer di
Washington: gaya seorang "wanita penyiar" dengan gelombang
lembut dan indah di bagian bawah dan menyentuh bahunya ...
cukup panjang untuk dikatakan seksi, namun cukup pendek
untuk mengingatkan bahwa mungkin saja dia lebih pandai
dibandingkan Anda.
"Aku agak terlambat," perempuan itu berkata dengan nada
datar. "Aku ada janji makan pagi bersama Senator Sexton."
Tiba-tiba sang maitre d' merasa tergelitik. Senator Sedgewick
Sexton. Senator itu adalah pelanggan restoran ini dan sekarang
dia merupakan salah satu lelaki yang paling terkenal di negeri
ini. Minggu lalu, setelah mengalahkan secara telak kedua belas
calon presiden dari partai Republik pada Super Tuesday,* sang
senator jelas dicalonkan partainya sebagai kandidat Presiden
Amerika Serikat. Banyak orang percaya bahwa sang senator
memiliki kesempatan besar untuk merebut Gedung Putih dari
presiden saat ini dalam pemilu di musim gugur yang akan
datang. Akhir-akhir ini wajah Sexton muncul di setiap majalah
nasional, dan slogan-slogan kampanyenya tertempel di seluruh
Amerika: "Hentikan penghamburan uang. Mulailah perbaikan."
"Senator Sexton sudah ada di tempat duduknya," ujar sang
maitre d'. "Dan nama Anda?"
"Rachel Sexton. Putrinya."
Bodohnya aku, pikir lelaki itu. Kemiripan mereka jelas terlihat.
Perempuan itu memiliki mata setajam mata sang senator
dan pembawaan yang halus—aura ketabahan yang terlatih dari
seorang bangsawan. Jelas, wajah tampan sang senator merupakan
warisan turun-temurun, walau Rachel Sexton tampaknya menyandang
keunggulan tersebut dengan keanggunan dan kerendahan
hati yang seharusnya dicontoh ayahnya.
"Kami senang Anda berkunjung ke sini, Ms. Sexton."
Ketika sang maitre d' membimbing putri sang senator itu
melintasi ruang makan, dia merasa malu dengan lirikan para
lelaki di ruangan tersebut yang mengikuti tamunya ... beberapa
di antaranya mengerling diam-diam, namun yang lainnya tampak
lebih terang-terangan. Hanya segelintir perempuan yang makan
di Toulos dan lebih sedikit lagi yang terlihat seperti Rachel
Sexton, sehingga kunjungannya kali ini menarik minat laki-laki
yang makan di sana.
*Hari Selasa di awal bulan Maret dalam tahun pemilihan presiden, di
mana hampir seluruh negara bagian di AS mengadakan pemilihan awal
calon presiden secara serentak—penerjemah.
"Tubuh yang indah," bisik salah seorang tamu. "Sexton
sudah punya istri baru?"
"Itu putrinya, bodoh," jawab yang lainnya.
Lelaki itu terkekeh. "Seperti tidak kenal Sexton saja. Dia
mungkin akan menidurinya juga."
KETIKA RACHEL tiba di depan meja ayahnya, sang senator
sedang menggunakan ponselnya dan berbicara dengan lantang
tentang keberhasilannya baru-baru ini. Dia menatap Rachel
sekilas dan kemudian mengetuk jam tangan Cartier-nya untuk
mengingatkan putrinya bahwa dia terlambat.
Aku juga rindu padamu, Ayah, kata Rachel, sinis.
Sesungguhnya nama depan ayahnya adalah Thomas, tetapi
dia kemudian menggunakan nama tengahnya sejak lama. Rachel
menduga itu karena ayahnya menyukai nama depan dan nama
belakang dengan huruf awal yang sama seperti orang-orang
terkenal itu. Senator Sedgewick Sexton, begitulah namanya sekarang.
Lelaki itu berambut perak, seorang politisi yang juga
ber-"lidah perak" alias pintar bicara, dan diberkahi dengan wajah
cerdik layaknya pemeran dokter dalam opera sabun. Peran tersebut
sepertinya cocok mengingat bakatnya yang pandai menirukan
karakter orang lain.
"Rachel!" Ayahnya kemudian mematikan ponselnya dan
berdiri untuk mencium pipi putrinya.
"Hai, Ayah." Rachel tidak membalas ciuman ayahnya.
"Kau tampak letih."
Yah, mulai lagi deh, katanya dalam hati. "Aku menerima
pesanmu. Ada apa?"
"Memangnya aku tidak boleh mengajak putriku keluar untuk
makan pagi?"
Rachel sudah tahu sejak lama, ayahnya jarang sekali minta
ditemani olehnya kecuali jika ada maksud tersembunyi.
Sexton menyesap kopinya. "Jadi, apa kabarmu?"
"Sibuk. Kulihat, kampanye Ayah berjalan baik sekali."
"Oh, jangan bicara soal pekerjaan." Sexton mencondongkan
tubuhnya ke depan, dan merendahkan suaranya. "Bagaimana
dengan lelaki dari Departemen Luar Negeri yang kukenalkan
padamu itu?"
Rachel menarik napas dengan kesal. Sejak tadi dia sudah
berusaha keras agar tidak melirik jam tangannya. "Ayah, aku
betul-betul tidak punya waktu untuk meneleponnya. Dan kuharap
Ayah akan berhenti berusaha untuk—"
"Kau harus menyempatkan diri untuk melakukan hal-hal
penting, Rachel. Tanpa cinta, semuanya akan tidak berarti."
Sejumlah kenangan terlintas dalam benak Rachel, tetapi dia
memilih diam. Sepertinya, berakting seperti orang besar tidak
sulit bagi ayahnya. "Ayah, kau bilang ingin bertemu denganku.
Ayah bilang ada hal penting."
"Benar." Sexton menatap Rachel dengan lebih saksama.
Rachel merasa sebagian pertahanan dirinya meleleh di bawah
tatapan tajam ayahnya, sehingga dia mengutuki kekuatan lelaki
itu dalam hati. Tatapan tajam adalah bakat sang senator, bakat
yang menurut Rachel mungkin akan membawa ayahnya ke
Gedung Putih. Pertama-tama ayahnya dapat membuat matanya
dibanjiri air mata, sesaat kemudian mata tersebut akan menjadi
jernih, seolah-olah pemiliknya membuka jendela jiwa yang penuh
ketulusan, sehingga membangkitkan kepercayaan pada semua
orang. Semua ini adalah tentang kepercayaan, begitu ayahnya
selalu mengatakan. Walau sang senator telah kehilangan kepercayaan
putrinya bertahun-tahun yang lalu, dengan cepat dia
dapat memperoleh kepercayaan negerinya.
"Aku punya sebuah tawaran untukmu," kata Senator Sexton.
"Biar aku tebak," sahut Rachel sambil berusaha membangun
kembali ketenangannya. "Seorang duda-cerai sedang mencari istri
yang masih muda?"
"Jangan bercanda, Sayang. Kau sendiri sudah tidak semuda
itu..
Rachel merasa hatinya menjadi ciut seperti yang sering
dirasakannya setiap kali bertemu dengan ayahnya.
"Aku ingin memberimu sekoci penyelamat," kata sang senator.
"Aku tidak merasa sedang tenggelam."
"Kau memang tidak sedang tenggelam. Presiden yang sedang
tenggelam. Kau harus terjun meninggalkan kapal itu sebelum
terlambat."
"Kita sudah pernah membicarakan ini, bukan?"
"Pikirkan masa depanmu, Rachel. Kau bisa bekerja untukku."
"Kuharap itu bukan alasan Ayah mengajakku makan pagi."
Kesan tenang di wajah sang senator berubah walau sedikit
sekali. "Rachel, memangnya kamu tidak tahu bahwa dengan
bekerja pada Presiden, kau memberikan citra buruk kepadaku?
Dan kepada kampanyeku?"
Rachel mendesah. Dia dan ayahnya sudah pernah membicarakan
hal ini. "Ayah, aku tidak bekerja pada Presiden. Aku bahkan
belum pernah berjumpa dengannya. Aku bekerja di Fairfax."
"Dalam politik, kesan sangat penting, Rachel. Kau terkesan
bekerja untuk Presiden."
Rachel menghela napas dan berusaha untuk tetap tenang.
"Aku sudah berjuang terlalu keras untuk mendapatkan pekerjaan
ini, Ayah. Aku tidak akan berhenti."
Mata sang senator menyipit. "Kautahu, kadang-kadang sifat
keras kepalamu itu betul-betul—"
"Senator Sexton?" Seorang wartawan muncul di samping
meja mereka.
Dengan cepat sikap sang senator melunak. Rachel mengerang
dalam hati dan mengambil sepotong croissant dari sebuah
keranjang kecil di atas meja.
"Ralph Sneeden," kata wartawan itu. "Washington Post. Boleh
saya mengajukan beberapa pertanyaan?"
Sang senator tersenyum, lalu mengusap mulutnya dengan
selembar serbet. "Dengan senang hati, Ralph. Singkat saja, ya.
Saya tidak mau kopi saya dingin."
Si wartawan hanya tertawa. "Tentu saja, Pak." Lalu dia
mengeluarkan sebuah alat perekam kecil dan menyalakannya.
"Senator, iklan kampanye Anda di televisi menuntut pengesahan
hukum untuk memastikan persamaan upah kerja bagi perempuan
... demikian juga pemotongan pajak bagi keluarga-keluarga muda.
Dapatkah Anda memberikan pernyataan tentang alasan tuntutan
Anda itu?"
"Tentu. Saya hanya seorang pengagum fanatik perempuan
yang ulet dan keluarga yang kuat."
Rachel benar-benar tersedak dengan croissant-aya.
"Lalu mengenai topik keluarga," lanjut wartawan itu, "Anda
berbicara banyak tentang pendidikan. Anda mengusulkan pemotongan
anggaran yang tinggi dan kontroversial untuk dialokasikan
sebagai tambahan bagi sekolah-sekolah negeri."
"Saya percaya bahwa anak-anak merupakan masa depan kita."
Rachel tidak dapat percaya ayahnya begitu noraknya sehingga
harus mengutip syair lagu-lagu pop.
"Yang terakhir, Pak," kata si wartawan. "Menurut jajak pendapat,
perolehan angka Anda melonjak tinggi selama beberapa
minggu terakhir ini. Presiden pasti merasa khawatir. Anda memiliki
pendapat tentang keberhasilan Anda baru-baru ini?"
"Saya kira itu ada hubungannya dengan kepercayaan. Rakyat
Amerika mulai melihat bahwa Presiden tidak dapat dipercaya
untuk membuat keputusan yang kuat bagi bangsa ini. Pengeluaran
negara yang tidak terkendali membuat hutang menjadi
semakin bertumpuk setiap hari, dan rakyat Amerika mulai sadar
bahwa sudah saatnya mereka berhenti mengeluarkan uang dan
memperbaiki keadaan."
Seperti mengakhiri retorika ayahnya, penyeranta di dalam
tas Rachel berbunyi. Biasanya, suara alat elektronik itu mengganggunya,
namun kali ini suaranya terdengar sangat merdu.
Sang senator melotot marah ke arah Rachel karena merasa
terganggu.
Rachel merogoh-rogoh tasnya untuk mencari penyerantanya,
lalu menekan kode yang terdiri atas lima digit untuk memastikan
bahwa dialah yang memegang penyeranta itu. Bunyi penyeranta
itu berhenti, dan lampu LCD-nya mulai berkedip. Dalam lima
belas detik, dia akan menerima sebuah pesan dari jalur aman.
Sneeden tersenyum pada sang senator. "Putri Anda pasti
orang yang sangat sibuk. Senang melihat Anda berdua masih
menyisipkan acara makan bersama dalam jadwal Anda yang
padat."
"Seperti yang saya katakan tadi, keluarga selalu nomor satu."
Sneeden mengangguk, dan kemudian tatapannya mengeras.
"Boleh saya bertanya, Pak. Bagaimana Anda dan putri Anda
mengatasi konflik kepentingan di antara Anda berdua?"
"Konflik?" Senator Sexton menegakkan kepalanya dengan
wajah polos untuk menunjukkan ekspresi kebingungan. "Maksudmu
konflik apa?"
Rachel melirik ayahnya dan merasa jijik dengan sikap munafik
seperti itu. Dia tahu dengan pasti, ke mana arah semua ini.
Wartawan sialan, pikir Rachel. Setengah dari mereka merupakan
orang-orang bayaran untuk kepentingan politik tertentu. Pertanyaan-
pertanyaan wartawan itu disebut para jurnalis sebagai
pertanyaan buah anggur—sebuah pertanyaan yang terlihat sulit
tetapi sebenarnya hanya merupakan skenario demi keuntungan
sang senator sendiri—sebuah pukulan lob lambat yang dapat
dikembalikan ayahnya dengan smash ke bidang lawan untuk
menjernihkan beberapa hal tertentu.
"Begini, Pak ...." Si wartawan terbatuk, berpura-pura merasa
tidak enak karena pertanyaannya tadi. "Pertentangan karena putri
Anda bekerja pada lawan politik Anda."
Tawa Senator Sexton meledak, dan dengan cepat mengaburkan
pertanyaan itu. "Ralph, pertama-tama, Presiden dan saya
bukan lawan politik. Kami hanyalah dua orang patriot yang
memiliki dua gagasan berbeda tentang bagaimana membangun
negara yang kami cintai ini."
Si wartawan berseri-seri wajahnya. "Lalu yang kedua?"
"Kedua, putri saya tidak bekerja untuk Presiden. Rachel
hanya bekerja pada komunitas inteiijen. Dia mengunipulkan
laporan-laporan inteiijen dan mengirimkannya ke Gedung Putih.
Itu bukan jabatan yang terlalu penting." Sang senator berhenti
sejenak dan menatap Rachel. "Aku juga tidak yakin kau sudah
pernah bertemu dengan Presiden, ya kan, Sayangku?"
Rachel menatap ayahnya dengan mata melotot.
Penyeranta itu berbunyi lagi, sehingga tatapan Rachel berpindah
pada pesan yang muncul di layar LCD.
—RPT DIRNRO STAT—
Rachel mengartikan pesan itu dengan cepat, lalu mengerutkan
keningnya. Pesan itu tidak terduga, dan jelas merupakan
kabar buruk. Tapi paling tidak dia memiliki alasan untuk pergi
sekarang.
"Bapak-bapak," katanya, "saya sangat menyesal, tetapi saya
harus pergi. Saya terlambat bekerja."
"Ms. Sexton," ujar wartawan itu dengan cepat, "sebelum
pergi, dapatkah Anda memberikan komentar tentang kabar angin
bahwa Anda diundang makan pagi ini untuk membicarakan
kemungkinan Anda meninggalkan kedudukan Anda sekarang
demi kampanye ayah Anda?"
Rachel merasa seolah-olah seseorang telah menyiramkan kopi
panas ke wajahnya. Dia betul-betul tidak siap menerima pertanyaan
itu. Rachel menatap ayahnya dan merasakan, dari seringai
sang ayah, bahwa pertanyaan wartawan itu telah diatur.
Dia sangat ingin naik ke atas meja dan menusuk ayahnya dengan
garpu.
Si wartawan menyodorkan perekamnya ke arah wajah Rachel.
"Miss Sexton?"
Rachel menatap mata wartawan itu dengan tajam. "Ralph,
atau siapa pun namamu, dengar ini baik-baik: Aku tidak punya
niat meninggalkan pekerjaanku untuk bekerja pada Senator
Sexton, dan jika kau memutar balik pernyataanku, kau akan
memerlukan pencungkil sepatu untuk mengeluarkan perekam
ini dari anusmu."
Mata wartawan itu terbelalak. Dia lalu mematikan perekamnya
sambil diam-diam tersenyum. "Terima kasih, Anda berdua."
Kemudian dia menghilang.
Rachel segera menyesali luapan kegusarannya tadi. Dia rupanya
telah mewarisi sikap buruk ayahnya, dan mungkin karena
itulah dia membenci ayahnya. Bagus, Rachel. Sangat bagus.
Ayahnya melotot ke arahnya dengan tatapan tidak setuju.
"Kau betul-betul harus belajar bersikap lebih baik."
Rachel mulai mengumpulkan barang-barangnya. "Pertemuan
ini sudah selesai."
Tampaknya urusan sang senator dengan putrinya itu juga
sudah selesai. Dia lalu mengeluarkan ponselnya untuk menelepon
seseorang. "Dah, Sayang. Mampirlah ke kantorku sering-sering.
Dan menikahlah! Ingat, kau sudah 33 tahun sekarang."
"Tiga puluh empat," sergah Rachel. "Sekretaris Ayah saja
ingat."
Senator Sexton berdecak dengan nada menyesal. "Tiga puluh
empat. Hampir jadi perawan tua. Kautahu, ketika aku berusia
34, aku sudah—"
"Menikahi Ibu dan berselingkuh dengan tetangga?" Katakata
itu terucap lebih keras dari yang dimaksudkan sehingga
merusak ketenangan di restoran itu. Para tamu yang duduk di
dekat mereka menoleh ke arah ayah dan anak ini.
Senator Sexton memandangnya dengan dingin, sehingga
Rachel merasa ada dua pedang es kristal yang menancap di
tubuhnya. "Berhati-hatilah kau, Nona."
Rachel beranjak menuju pintu. Tidak, berhati-hatilah kau,
Senator.[]
No comments:
Post a Comment